Situs Kampung KB dan Pendidikan Indonesia

Selamat datang di situs Kampung KB "Tumbuh Jaya" Desa Tumbuh Mulia Kecamatan Suralaga Lombok Timur NTB. Situs ini berisi 8 pokja Kampung KB seperti Pokja Pendidikan, Keagamaan, Sosial dan Budaya, Ekonomi, Kesehatan Refreduksi, Lingkungan, Perlindungan dan Kasih Sayang. Selain itu juga, berisi tentang administrasi pendidikan seperti Ruang Guru, Materi K13, Aplikasi K13, Program Kerja, Soal Ujian, Artikel Islam, Hiburan dan Katagori yang meliputi pertanian, peternakan dan perikanan. Semoga situs ini bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidup keluarga dan masyarakat menuju Indonesia sejahtera.
  • Arsip Kampung KB Tumbuh Jaya

    Photo Bersama Pengurus Kampung KB Tumbuh Jaya

  • Lomba Kampung BK

    Dokumentasi penyerahan hadiah juara 1 lomba Kampung KB sekabupaten Lombok Timur di Joben Desa Pesanggarahan kecamatan Montong Gading (Sabtu, 22 Juni 2019).

  • Dokumentasi penyerahan hadiah juara 1 lomba Kampung KB sekabupaten Lombok Timur di Joben Desa Pesanggarahan kecamatan Montong Gading (Sabtu, 22 Juni 2019).

Showing posts with label Kajian Ramadhan. Show all posts
Showing posts with label Kajian Ramadhan. Show all posts

Keutamaan Sholat Tarawih Selama 30 Malam.

Marhaban ya Ramadahan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Keutamaan Sholat Tarawih Selama 30 Malam.

Tujuannya supaya kita bersemangat dalam melaksanakan sholat tarawih setiap malam.


Dalam kitab Durratun Nasihin disebutkan berbagai fadhilahnya sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits. 

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwasannya Rasulullah saw pernah ditanya seseorang mengenai fadhilah shalat tarawih di bulan Ramadhan, maka beliau berkata “ fadhilah sholat tarawih sebagai berikut:

Malam 1 : membebaskan seorang mu’min dari dosanya seperti ketika ia baru dilahirkan ibunya.

Malam 2 : diampunkan dosa kedua ibu-bapaknya, jika keduanya beriman.

Malam 3 : berseru malaikat dari bawah ‘arasy “mulailah beramal, Allah telah menghapus dosa-dosa yang terdahulu”.

Malam 4 : baginya pahala seperti membaca semua kitab Allah (taurat, injil, zabur dan alqur’an)

Malam 5 : Allah berikan padanya pahala shalat di Masjidil Haram, Masjid Madinah dan Masjidil aqsha.

Malam 6 : Allah berikan padanya pahala orang yang thawaf di baitul ma’mur seraya memohonkan ampun untuknya segala batu dan lumpur.

Malam 7 : seolah baginya hidup di zaman nabi Musa dan turut berperang melawan Fir’aun dan Hamman.

Malam 8 : Allah berikan kepadanya apa-apa yang diberikan kepada nabi Ibrahim as.

Malam 9 : seolah-olah ia menyembah Allah swt seperti kelasnya ibadah Rasulullah saw.

Malam 10 : Allah berikan rizqi kepadanya berupa kebaikan dunia dan akhirat.

Malam 11 : akan keluar dari dunia (mati) seperti hari ketika dilahirkan ibunya.

Malam 12 : wajahnya seperti bulan tanggal empat belas di hari kiyamat nanti.

Malam 13 : aman dai segala keburukan di hari kiyamat nanti

Malam 14 : dibebaskan dari pemeriksaan di hari kiyamat atas dasar persaksian malaikat atas shalat tarawihnya.

Malam 15 : memintakan ampun untuknya semua malaikat pemikul ‘arasy dan kursi.

Malam 16 : Allah swt menuliskan untuknya keselamatan dari neraka, dan kebebasan memasuki surga.

Malam 17 : diberikan kepadanya pahala Nabi-Nabi.

Malam 18 : berserulah seorang malaikat “wahai hamba, Allah telah ridha kepadamu dan kedua orang tuamu”

Malam 19 : Allah swt mengangkat derajatnya di surga firdaus.

Malam 20 : diberikan kepadanya pahala orang-orang yang mati syahid dan para shalihin.

Malam 21 : Allah swt buatkan rumah di surga dari cahaya.

Malam 22 : terbebaskan dari duka-cita ketika di hari kiyamat nanti.

Malam 23 : Allah swt buatkan kota di dalam surga

Malam 24 : ada 24 doa yang mustajabah baginya.

Malam 25 : Allah swt bebaskan darinya siksa kubur.

Malam 26 : Allah swt angkatkan dosanya selama empat puluh tahun.

Malam 27 : melewati shirath di hari kiyamat nanti secepat kilat.

Malam 28 : Allah swt angkatkan baginya seribu derajat di dalam surga.

Malam 29 : Allah swt berikan padanya pahala seribu haji yang diterima.

Malam 30 : Allah swt berkata padanya “Wahai hambaku makanlah oleh buah-buahan surga, dan mandilah dari air (surga) salsabila, dan minumlah dari air telaga (surga) al-Kautsar, Aku tuhanmu dan Engkau adalah hambaku.

Sesungguhnya fadhilah yang tersimpan dalam setiap shalat tarawih. Perbedaan fadhilah pada masing-masing malam ini menunjukkan betapa tarawih adalah suatu momentum yang tidak mungkin berulang kembali. Siapa melewatkan satu malam, berarti telah kehilangan satu fadhilah. Dan itu akan di dapatnya kembali pada tahun berikutnya, kalaupun dia masih hidup.

Demikian, semoga bermanfaat.
Share:

Hukum Shalat Tarawih Secara Berjamaah Menurut Ahli Fikih.

Marhaban ya Ramadahan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Hukum Shalat Tarawih Secara Berjamaah Menurut Ahli Fikih.

Tujuannya supaya kita mengetahui hukum Shalat Tarawih yang sering kita kerjakan pada malam bulan Ramadhan.


Hukum Shalat Tarawih Secara Berjamaah Menurut Ahli Fikih

Para ulama fikih sepakat atas disyariatkannya berjama’ah dalam Shalat tarawih. Berdasarkan pada perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dilanjutkan oleh para sahabat semenjak masa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahkan masih terus diamalkan oleh kaum muslimin sampai saat ini.

A. SUNNAH ‘ALAL KIFAYAH
Ahli fikih Hanafiyah berpendapat, yang benar berjama’ah dalam shalat tarawih hukumnya adalah sunnah ‘alal kifayah.

Jika seluruhnya meninggalkan maka berdosa, jika salah seorang menyelisihi kaum muslimin untuk shalat sendirian di rumah maka ia kehilangan fadhilah. Jika dilaksanakan di rumah dengan berjama’ah maka mereka tidak mendapatkan fadhilah berjama’ah di masjid. (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 1/473-476)

B. MUSTAHAB
Ahli fikih Malikiyah berpendapat, berjama’ah dalam shalat tarawih hukumnya mustahab(dianjurkan), dan diperintahkan menegakkannya di rumah, hal ini didasarkan pada hadits Abu Dzar. (Syarh Al-Kabir, Hasyiyah Ad-Dasuki, 1/315, Syarh Az-Zarqani ‘ala Al-Muwatta’ li Malik, 1/283)

C. SUNNAH
Ahli fikih Syafi’iyah berpendapat, berjama’ah dalam shalat tarawih adalah sunnah, lebih afdhal daripada ditegakkan sendirian. (Al-Majmu’, 3/528, Syarh Al-Muhalla, 1/217,218, Mughni Al-Muhtaj, 1/226)

Ahli fikih Hanabilah berpendapat, shalat tarawih berjama’ah lebih afdhal daripada menegakkannya sendiri-sendiri. Imam Ahmad berkata, biasanya Ali, Jabir, dan ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhum shalat tarawih berjama’ah, tapi jika berudzur untuk berjama’ah mereka shalat sendiri-sendiri. (Kasyaaf Al-Qana’, 1/425, Al-Mughni, 2/196)

Mengenai berjama’ah dalam shalat witir setelah shalat tarawih hukumnya dianjurkan menurut Hanafiyah, Syafi’iyah. Dan Sunnah menurut Hanabilah. (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 1/371, Mughni Al-Muhtaj, 1/223, Syarh Muntaha Al-Iradaat, 1/224) [M. Shodiq/dakwah.id]

Demikian, semoga bermanfaat.
Share:

Tata Cara Pelaksanan Sholat Tarawih Lengkap Pembahasannya.

Marhaban ya Ramadahan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Tata Cara Pelaksanan Sholat Tarawih Lengkap Pembahasannya.

Tujuannya supaya kita mengetahui bagaimana tata cara pelaksanan Sholat Tarawih ala Rasullah dan para sahabatnya.


Tata Cara Pelaksanan Sholat Terawih Lengkap Pembahasannya

a. Shalat Tarawih

Shalat tarawih adalah sholat sunnah yang disyariatkan pada malam bulan Ramadhan. Tarawih merupakan bentuk jamak dari tarwiihah (ترويحة) yang artinya “waktu sesaat untuk istirahat.” Disebut demikian karena pada shalat tarawih ada waktu untuk beristirahat sejenak, khususnya setelah dua kali salam (empat rakaat).

a). Niat Sholat Tarawih
  • Niat Sholat Tarawih Berjamaah – 2 rakaat.
اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى
Ushalli sunnatat taraawiihi rak’ataini mustaqbilal qiblati ma’muman lillahi ta’aalaa.

Artinya: “Aku niat Salat Tarawih dua rakaat menghadap kiblat sebagai makmum karena Allah Ta’ala”.
  • Niat Sholat Tarawih Sendiri (Munfarid) – 2 rakaat.
اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالَى
Usholli sunnatattarowihi rok’ataini mustaqbilal qiblati lillahi ta’ala

Artinya: “Aku niat Salat Tarawih dua rakaat menghadap kiblat karena Allah Ta’ala”
  • Niat Sholat Tarawih sebagai Imam – 2 rakaat
اُصَلِّى سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ إِمَامًا ِللهِ تَعَالَى
Ushollii sunnatat-taraawiihi rok’ataini mustaqbilal qiblati imaaman lillaahi ta’alaa

Artinya: “Saya niat sholat sunnah tarawih dua raka’at menghadap kiblat sebagai imam karena Allah Ta’ala.”

b). Niat Sholat Witir


  • Niat Sholat Witir – 1 rakaat
اُصَلِّى سُنًّةَ الْوِتْرِرَكْعَتَيْن مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًاِللهِ تَعَالَى
Ushallii sunnatal witri rok‘atan mustaqbilal qiblati adaa’an (ma’muman/imaman) lillaahi ta’alaa.


Artinya: “Saya niat sholat witir satu rakaat menghadap qiblat menjadi makmum karena Allah ta’alaa”


Catatan: rokataini diganti dengan rok‘atan.


  • Niat Sholat Witir – 2 rakaat
اُصَلِّى سُنًّةَ الْوِتْرِرَكْعَتَيْن مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًاِللهِ تَعَالَى
Ushallii sunnatal witri dua rakaat mustaqbilal qiblati adaa’an (ma’muman/imaman) lillaahi ta’alaa.

Artinya: “Saya niat sholat witir dua rakaat menghadap qiblat menjadi makmum karena Allah ta’alaa”
  • Niat Sholat Witir – 3 rakaat
اُصَلِّى سُنًّةَ الْوِتْرِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ اَدَاءً مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالَى
Ushallii sunnatal witri tsalaasa roka’aatin mustaqbilal qiblati adaa’an (ma’muman/imaman) lillaahi ta’alaa

Artinya: “Saya berniat shalat witir tiga rakaat menghadap kiblat menjadi (ma’muman/imaman) karena Allah ta’alaa”



b. Hukum Shalat Tarawih

Hukum shalat tarawih adalah sunnah bagi muslim laki-laki dan perempuan. Ia boleh dikerjakan berjamaah maupun sendiri-sendiri, namun menurut jumhur ulama lebih utama dikerjakan secara berjamaah di masjid.

Awalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat tarawih berjamaah bersama para sahabat. Namun Rasulullah kemudian menghentikannya karena khawatir shalat tarawih dianggap wajib.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُرَغِّبُ فِى قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ فَيَقُولُ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan supaya mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan tetapi tidak mewajibkannya. Beliau bersabda: “Barangsiapa bangun pada malam bulan Ramadhan karena iman dan mengarapkan perhitungan dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim)

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِى الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّى خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ

Dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di masjid pada suatu malam, lalu orang-orang ikut shalat bersama beliau. Malam berikutnya beliau shalat lagi dan orang yang ikut semakin banyak. Pada malam ketiga dan keempat orang-orang berkumpul lagi tapi Rasulullah tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Pagi harinya beliau bersabda: “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan dan tidak ada yang menahanku untuk keluar kecuali kekhawatiranku akan difardhukannya shalat itu atas kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada riwayat Muslim dijelaskan bahwa waktu itu adalah bulan Ramadhan.

Awalnya, sholat ini wajib bagi kaum muslimin. Setelah turun perintah sholat lima waktu, sholat ini menjadi sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi kaum muslimin. Sedangkan khusus bagi Rasulullah, sholat ini hukumnya wajib sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya.

c. Waktu dan Jumlah Rakaat

Shalat tarawih disyariatkan pada malam bulan Ramadhan, waktunya mulai setelah shalat isya’ sampai akhir malam. Ia dikerjakan setelah shalat isya’ sebelum shalat witir. Boleh dikerjakan setelah witir namun tidak afdhal.

Lama shalat witir perlu dipertimbangkan sesuai kondisi jamaah. Meskipun Rasulullah mengerjakan sangat panjang waktunya, namun perlu dipertimbangkan agar tidak memberatkan jamaah, khususnya di zaman sekarang.

Rasulullah mengerjakan shalat tarawih delapan rakaat lalu witir tiga rakaat. Namun waktunya lama karena bacaan beliau panjang-panjang. Di zaman Umar bin Khattab, shalat tarawih dikerjakan dua puluh rakaat, ditambah witir tiga rakaat. Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan bahwa jumlah rakaat tersebut merupakan ijma’ sahabat pada waktu itu.

Jadi, masalah jumlah rakaat shalat tarawih ini merupakan masalah furu’iyah yang para ulama memiliki hujjah sendiri-sendiri. Sebagian ulama shalat tarawih delapan rakaat karena berpegang pada hadits Aisyah yang menyebutkan shalat malam Rasulullah baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya tidak pernah lebih dari 11 rakaat.

Sebagian ulama shalat tarawih 20 rakaat karena mengikuti kaum Muhajirin dan Anshar yang juga dilakukan pada masa khalifah Umar. Sebagian ulama lainnya shalat tarawih 36 rakaat karena mencontoh masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Menurut Ibnu Taimiyah, seluruh pendapat di atas bagus. Imam Ahmad juga berpendapat jumlah rakaat shalat tarawih tidak dibatasi; delapan rakaat boleh, 20 rakaat boleh, 36 rakaat juga boleh.

Demikian, semoga bermanfaat.
Share:

Sejarah Awal Mula Sholat Tarawih.

Marhaban ya Ramadhan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Sejarah Awal Mula Sholat Tarawih.

Tujuannya supaya kita mengetahui bagaimana sejarah awal mula dilaksanakan sholat tarawih sejak zaman Nabi sampai sekarang.


Sejarah Awal Mula Sholat Tarawih

Dalam sejarahnya shalat tarawih pertama kali dilaksanakan sendiri oleh Baginda Nabi Besar Muhammad saw. Ini tercatat jelas dalam riwayat-riwayat sahih dalam Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim, dan Sunan Abî Dâwûd dari Aisyah ra. Pada bulan Ramadhan di pertengahan malam, Rasulullah saw pergi ke masjid untuk shalat. Sejumlah sahabat yang saat itu berada di masjid bermakmum mengikuti shalat Nabi saw tersebut. 

Di pagi harinya terjadi obrolan di kalangan sahabat mengenai shalat malam itu sehingga malam di malam-malam berikutnya jamaah shalat menjadi lebih banyak lagi. Shalat malam tersebut hanya dilakukan oleh Nabi saw sampai dua atau tiga malam saja. Pada malam selanjutnya para sahabat sudah berbondong-bondong ingin mengikuti shalat bersama Nabi saw. Mereka menunggu sampai meneriakkan “shalat-shalat”, namun saat itu Baginda Nabi Muhammad saw tidak kunjung keluar ke masjid.

Lalu pada waktu subuhnya, Nabi saw memberi tahu alasan absennya Nabi saw tadi malam di masjid. Sebenarnya Rasulullah saw mengetahui para sahabat menunggu Beliau saw untuk shalat bersama akan tetapi Beliau saw khawatir shalat malam di bulan Ramadhan yang telah dilakukan semenjak dua atau tiga malam sebelumnya menjadi wajib bagi umat Muhammad saw sehingga dapat memberatkan mereka.

Menurut riwayat Abu Dzar dalam Sunan al-Baihaqî dan Sunan al-Tirmidzî, ketiga malam yang dilaksanakan shalat ‘qiyam’ oleh adalah malam ke-23, malam ke-25 dan malam ke-27. Kami saat berpuasa Ramadhan, di malam haru tidak pernah shalat ‘qiyam’ bersama Nabi saw hingga memasuki malam ke-23. Saat malam ke-23 itu kita shalat ‘qiyam’ bersama Nabi saw hingga sepertiga malam pertama. Pada malam ke-24 kita tidak melaksanakannya. 

Selanjutnya malam ke-25 kita shalat ‘qiyam’ hingga tengah malam. Lalu di malam ke-26 kita tidak melakukannya. Malam ke-27 Nabi saw shalat ‘qiyam’ Ramadhan. Sedangkan dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan malam ke-21 hingga malam ke-24. Dahulu pada malam ke-21 Nabi mengumpulkan keluarganya untuk shalat ‘qiyam’ berjamaah hingga sepertiga malam pertama. Di malam berikutnya, malam ke-22, Nabi saw kembali mengumpulkan mereka untuk sha;at ‘qiyam’ bersama hingga tengah malam. Lalu pada malam ke-23, Nabi saw mengumpulkan keluarganya untuk shalat ‘qiyam’ Ramadhan hingga sepertiga akhir malam. Pada malam ke-24 Nabi saw memerintahkan mereka untuk mandi lalu berjamaah hingga masuk waktu subuh. Setelah itu Nabi saw tidak mengumpulkan mereka lagi.     

Shalat malam yang dilakukan oleh Nabi saw ini merupakan cerminan komitmen Beliau saw terhadap apa yang telah diucapkan. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah ra dalam Shahîh al-Bukhârî, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwûd, Sunan Ibnu Mâjah, dan al-Muwaththa’, Nabi Muhammad saw pernah menyatakan: “Orang yang ber-‘qiyamullail’ pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap rida-Nya, akan diampuni dosanya yang telah lewat”.

Baca Juga:  Adakan Lomba Menulis Opini, HMI Korkom Walisongo Semarang Gandeng Harakatuna.com
Dalam Musnad Ahmad, Abdurrahman bin Auf meriwayatkan bahwa Nabi saw pernah menegaskan beliau sendiri yang pertama kali menjalankan Tarawih ‘qiyamullail’ pada bulan Ramadhan: “Ramadhan adalah bulan yang Allah mewajibkan puasa. Sementara aku menetapkan sunah qiyam (tarawih) bagi umat Muslim. Orang yang ber-‘qiyamullail’ pada bulan Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharap rida-Nya, akan keluar dari dosa-dosa seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya”.

Menurut Abu Hurairah ra, saking seringnya Nabi saw menganjurkan untuk ber-‘qiyamullail’ saat Ramadhan seakan-akan tanpa memerintahkan yang fardhu (ʻazîmah).

Saat Rasulullah saw wafat, keadaan shalat tarawih masih seperti itu (menurut al-Qasthalani, masih tidak berjamaah atau shalat ‘qiyam’ sendiri-sendiri). Sama juga halnya keadaan shalat tarawih pada masa kepemimpinan Abu Bakar al-Shiddiq dan masa awal-awal kepemimpinan Umar bin al-Khattab.

Pada saat itu tarawih (qiyam Ramadhan) di masjid sebagian besar dilakukan dengan sendiri-sendiri dan ada juga yang berjamaah dengan sahabat yang lain karena bacaan al-Qurannya dinilai lebih bagus dan indah. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, Umar bin al-Khattab mempunyai inisiatif untuk mengumpulkan mereka pada satu imam. Hingga akhirnya Ubay bin Ka’b didaulat menjadi imam shalat tarawih, demikian keterangan dalam riwayat al-Bukhari. Sementara riwayat al-Saib bin Yazid menyatakan bahwa Umar bin al-Khattab mengangkat Ubay bin Ka’b dan Tamim al-Dari sebagai imam tarawih secara bergantian.


Riwayat lain juga mengatakan Umar bin al-Khattab sempat mengangkat Sulaiman bin Hatsamah menjadi imam tarawih untuk jamaah perempuan. Dalam Sunan al-Baihaqi Qatadah bin al-Hasan meriwayatkan bahwa di zaman kepemimpinan Utsman bin Affan yang memimpin shalat tarawih adalah Ali bin Abi Thalib hingga 20 malam kemudian digantikan oleh Abu Halimah Mu’adz al-Qari. Masih dalam riwayat al-Baihaqi, di masa kepimpinan Ali bin Abi Thalib memimpin sendiri shalat tarawih dan witir. Beliau juga mengangkat Arfajah al-Tsaqafi menjadi imam tarawih jamaah perempuan.

Demikian, semoga bermanfaat dalam menjalankan ibadah puasa.
Share:

Hal-hal Membatalkan Puasa Yang Harus Kita Ketahui.


Marhaban ya Ramadhan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Tata Cara Berpuasa Dalam Islam.

Bulan Ramadhan tinggal menghitung jari, segala persiapan harus matang sehingga mampu melaksakan ibadah puasa dengan baik. Salah satu hal yang harus dipersiapkan adalah ilmu hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan pada waktu ini seperti ilmu tata cara melaksakan ibadah puasa dengan benar sesuai dengan syariat agama sehingga diterima oleh Allah SWT.

Hal-hal Membatalkan Puasa Yang Harus Kita Ketahui

Jika Anda masih ingat pengalaman puasa di masa kecil, kalimat ini mungkin masih terdengar akrab bagi Anda, “jangan nangis, nanti puasanya batal, lho!”. Tidak hanya mendengarnya, Anda mungkin juga pernah mengucapkannya kepada teman atau adik. Tapi, apakah hal tersebut benar-benar dapat membatalkan puasa? 

Hal-hal yang membatalkan puasa terkadang memang masih jadi perdebatan atau menyisakan tanda tanya. Mulai dari soal menangis, marah, menelan ludah atau dahak, hingga mencicipi makanan. Daripada Anda ikut bertanya-tanya, berikut penjelasan mengenai hal-hal yang bisa membatalkan puasa.
Apakah menangis membatalkan puasa?
Kecuali Anda sengaja menangis dan menelan air matanya, menangis tidak membatalkan puasa, kok.
Apakah berkumur saat wudu membatalkan puasa?
Berkumur tidak membatalkan puasa dan tetap harus dilakukan dalam wudu karena merupakan kewajiban dalam wudu, baik bagi orang yang berpuasa ataupun yang lainnya.
Apakah merokok membatalkan puasa?
Merokok membatalkan puasa karena memasukkan suatu benda ke dalam salah satu lubang dalam tubuh hingga lambung dengan sengaja dan menimbulkan kenikmatan.
Apakah muntah membatalkan puasa?
Jika seseorang muntah dengan sengaja maka batallah puasanya. Tapi jika tidak, maka tidak batal.
Apakah menelan dahak atau ludah membatalkan puasa?
Pada dasarnya tidak membatalkan namun ketika sudah sampai mulut, sebaiknya dibuang baik sedang puasa ataupun tidak.
Apakah mencicipi masakan membatalkan puasa?
Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk mencicipi makanan jika dibutuhkan. Caranya dengan meletakkan diujung lidah, dirasakan, lalu dikeluarkan/diludahkan, dan tidak ditelan sedikitpun.

Jika sekarang Anda sudah tidak bertanya-tanya tentang hal-hal yang membatalkan puasa. Jadi, apa saja hal-hal yang membatalkan puasa? Setidaknya ada 7 hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu:
  1. Makan dan minum secara berkesinambungan dengan segaja
  2. Berhubungan seksual
  3. Keluar air mani dengan sengaja karena bersentuhan
  4. Perempuan yang mengalami haid atau nifas
  5. Muntah karena disengaja
  6. Gila atau hilang akal
  7. Keluar dari Islam
Demikian, semoga bermanfaat.
Share:

Rukun-rukun Puasa Lengkap Dengan Penjelasannya.


Marhaban ya Ramadhan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Rukun-rukun Puasa Lengkap Dengan Penjelasannya. 

Dalam melaksanakan puasa, ada beberapa syarat dan rukun yang harus kita ketahui agar ibadah puasa kita sah dan diterima oleh Allah SWT.

Berikut Rukun-rukun Puasa Lengkap Dengan Penjelasannya.
Rukun-rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah berniat dan menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari[23]. 

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). 

Yang dimaksud dari ayat diatas adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.

Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,

إِنَّمَا ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِ

“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”[24]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu pada ‘Adi bin Hatim karena sebelumnya ia mengambil dua benang hitam dan putih. Lalu ia menanti kapan muncul benang putih dari benang hitam, namun ternyata tidak kunjung nampak. Lantas ia menceritakan hal tersebut pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau pun menertawai kelakukan ‘Adi bin Hatim.[25]

Keterangan:
  • [23] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9915.
  • [24] HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
  • [25] HR. Ahmad, 4/377. Shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth

Demikian, semoga bermanfaat.
Share:

Syarat-syarat Wajib dan Sahnya Puasa Lengkap Dengan Penjelasannya.


Marhaban ya Ramadhan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Syarat-syarat Wajib dan Sahnya Puasa Lengkap Dengan Penjelasannya.

Dalam melaksanakan puasa, ada beberapa syarat yang harus kita ketahui agar ibadah puasa kita sah dan diterima oleh Allah SWT. Tanpa syarat tersebut maka puasa kita akan sia-sia belaka. 

Berikut Syarat-syarat Wajib dan Sahnya Puasa Ramadhan Lengkap Dengan Penjelasannya.


a. Syarat Wajib Puasa[1]
Syarat wajibnya puasa yaitu: 
(1) islam, 
(2) berakal, 
(3) sudah baligh [2], dan
(4) mengetahui akan wajibnya puasa.[3]


b. Syarat Wajibnya Penunaian Puasa[4]
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.

(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. 
Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah Ta’ala,


وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). 

Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.

(3) Suci dari haidh dan nifas. 
Dalilnya adalah hadits dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Hadits tersebut adalah,


عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”[5] 

Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.[6]


c. Syarat Sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:[7]

(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. 
Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.

(2) Berniat. 
Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[8]

Niat puasa ini harus dilakukan untuk membedakan dengan menahan lapar lainnya. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar kebiasaan, dalam rangka diet, atau karena sakit sehingga harus dibedakan dengan puasa yang merupakan ibadah.

Namun, para pembaca sekalian perlu ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafadzkan). Karena yang dimaksud niat adalah kehendak untuk melakukan sesuatu dan niat letaknya di hati[9]. 

Semoga Allah merahmati An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Syafi’iyah- yang mengatakan,


لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ

“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[10]

Ulama Syafi’iyah lainnya, Asy Syarbini rahimahullah mengatakan,

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ

“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidakk disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[11]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,


وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[12]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pula, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. 

Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[13]

Wajib Berniat Sebelum Fajar[14]

Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Hafshoh –istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”[15]

Syarat ini adalah syarat puasa wajib menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali. Yang dimaksud dengan berniat di setiap malam adalah mulai dari tenggelam matahari hingga terbit fajar.[16]

Adapun dalam puasa sunnah boleh berniat setelah terbit fajar menurut mayoritas ulama. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini. ‘Aisyah berkata,


دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kurma, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.”[17] 

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ini adalah dalil bagi mayoritas ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum waktu zawal (matahari bergeser ke barat) pada puasa sunnah.”[18] 

Di sini disyaratkan bolehnya niat di siang hari yaitu sebelum niat belum melakukan pembatal puasa. Jika ia sudah melakukan pembatal sebelum niat (di siang hari), maka puasanya tidak sah. Hal ini tidak ada perselisihan di dalamnya.[19]

Niat ini harus diperbaharui setiap harinya. Karena puasa setiap hari di bulan Ramadhan masing-masing hari berdiri sendiri, tidak berkaitan satu dan lainnya, dan tidak pula puasa di satu hari merusak puasa hari lainnya. Hal ini berbeda dengan raka’at dalam shalat.[20]

Niat puasa Ramadhan harus ditegaskan (jazm) bahwa akan berniat puasa Ramadhan. Jadi, tidak boleh seseorang berniat dalam keadaan ragu-ragu, semisal ia katakan, “Jika besok tanggal 1 Ramadhan, berarti saya tunaikan puasa wajib. Jika bukan 1 Ramadhan, saya niatkan puasa sunnah”. Niat semacam ini tidak dibolehkan karena ia tidak menegaskan niat puasanya.[21] 

Niat itu pun harus dikhususkan (dita’yin) untuk puasa Ramadhan saja tidak boleh untuk puasa lainnya.[22]


Keterangan nomor-nomor diatas bersumber dari:
  • [1] Disebut dengan syarat wujub shoum.
  • [2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 2/3005-3008).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916)
  • [3] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916.
  • [4] Disebut dengan syarat wujubul adaa’ shoum.
  • [5] HR. Muslim no. 335.
  • [6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9916-9917.
  • [7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 97 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/ 9917.
  • [8] HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob.
  • [9] Niat tidak perlu dilafazhkan dengan “nawaitu shouma ghodin …”. Jika seseorang  makan sahur, pasti ia sudah niat dalam hatinya bahwa ia akan puasa. Agama ini sungguh tidak mempersulit umatnya.
  • [10] Rowdhotuth Tholibin, 1/268.
  • [11] Mughnil Muhtaj, 1/620.
  • [12] Majmu’ Al Fatawa, 18/262.
  • [13] Idem.
  • [14] Yang dimaksudkan adalah masuk waktu shubuh.
  • [15] HR. Abu Daud no. 2454, Tirmidzi no. 730, dan Nasa’i no. 2333.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Riwayat yang menyatakan bahwa hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat) tidak menafikan riwayat di atas. Karena riwayat marfu’ adalah ziyadah (tambahan) yang bisa diterima sebagaimana dikatakan oleh ahli ilmu ushul dan ahli hadits. Pendapat seperti ini pun dipilih oleh sekelompok ulama, namun diselisihi oleh yang lainnya. Ulama yang menyelisihi tersebut berdalil tanpa argumen yang kuat” (Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 323).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Irwaul Gholil 914 (4/26).
  • [16] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9919.
  • [17] HR. Muslim no. 1154.
  • [18] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.
  • [19] Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, 6/32.
  • [20] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9922.
  • [21] Inilah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918.
  • [22] Ini pendapat jumhur (mayoritas ulama). Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9918. 

Baca juga:


Demikian, semoga dengan mengetahui hal-hal tersebut, ibadah puasa kita bisa diterima oleh Allah SWT.
Share:

Tata Cara Berpuasa Dalam Islam.

Marhaban ya Ramadhan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Tata Cara Berpuasa Dalam Islam.

Bulan Ramadhan tinggal menghitung jari, segala persiapan harus matang sehingga mampu melaksakan ibadah puasa dengan baik. Salah satu hal yang harus dipersiapkan adalah ilmu hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan pada waktu ini seperti ilmu tata cara melaksakan ibadah puasa dengan benar sesuai dengan syariat agama sehingga diterima oleh Allah SWT. 

Tata Cara Berpuasa Dalam Islam 

Berikut kami sajikan penjelasan tata cara berpuasa yang selanjutnya: 
2. Makan sahur
Hukum makan sahur adalah sunnah. Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً 

“Sahurlah kalian, karena sungguh dalam sahur terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih).

Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i seperti Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207).

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita agar tidak meninggalkan makan sahur walaupun sahur hanya dengan seteguk air. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ 

“Makan sahur adalah berkah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, Hadits Hasan). 

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166)


3. Menahan diri dari pembatal puasa sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. 

Allah Ta’ala berfirman:

 أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ 

“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kalian. Mereka adalah pakaian bagi kalian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kalian tidak dapat menahan keinginan kalian terhadap istri kalian, karena itu Allah mengampuni kalian dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan harapkanlah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” [Al Baqarah: 187]. 

Waktu menahan dalam ayat ini berlaku secara umum termasuk puasa sunnah.


4. Berbuka 

Allah Ta’ala telah menjelaskan pada kita tentang waktu berbuka yaitu dengan terbenamnya matahari, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
 ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ 
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (Al Baqarah: 187) 

Begitujuga pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits dari sahabat Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


 إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ وَأَدْبَرَ النَّهَارُ وَغَابَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ 

“Apabila malam telah datang, dan siang telah pergi, serta matahari telah terbenam, maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaihi) 

Maknanya adalah puasanya telah selesai dan sempurna. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang, dan malam pun tiba. Malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa. 

Sebagaimana penjelasan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim 7/210. Maka dapat diketahui waktu berbuka puasa adalah menjelang malam ketika matahari telah benar-benar tenggelam.

Demikian, semoga bermanfaat.


Referensi : [1] Gharibul Hadits (I/325-326, 327). Lihat Subulus Salam karya Ash-Shan’ani, awal Kitabush Shiyam.  
[2] Lihat Tafsir Ibni Katsir tafsif surat Maryam ayat 26. 
Share:

Tata Cara Berpuasa Dalam Islam.


Marhaban ya Ramadhan, pada kesempatan ini kami berbagi artikel kajian Ramadhan tentang Tata Cara Berpuasa Dalam Islam.

Bulan Ramadhan tinggal menghitung jari, segala persiapan harus matang sehingga mampu melaksakan ibadah puasa dengan baik. Salah satu hal yang harus dipersiapkan adalah ilmu hal, yaitu ilmu yang dibutuhkan pada waktu ini seperti ilmu tata cara melaksakan ibadah puasa dengan benar sesuai dengan syariat agama sehingga diterima oleh Allah SWT. Selamat membaca !

Tata Cara Berpuasa Dalam Islam 

Berikut kami sajikan penjelasan tata cara berpuasa: 
1. Berniat puasa 
Niat dilakukan dalam hati karena tidak diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dari para sahabat radhiyallahu‘anhum mengucapkan/melafazhkan niat. Sedangkan yang paling paham dengan syariat ini adalah mereka. 

Tidak ada seorang pun yang menukilkan riwayat melafazhkan niat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad yang shahih, dha’if, musnad (bersambung sanadnya) ataupun mursal (terputus sanadnya). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat. 

Begitu pula tidak ada salah seorang pun dari kalangan tabi’in maupun imam yang empat yang menganggap baik hal ini. 

Maka yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak melafadzkan niat. 

Mudzakarah Syarat diterimanya suatu amalan adalah: Ikhlas karena Allah dan Sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Niat Puasa harus dilakukan sebelum terbit fajar. Berniat ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah, mengharap pahala yang Allah persiapkan bagi orang-orang yang berpuasa. 

Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Barang siapa tidak berniat untuk berpuasa semenjak sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya (yakni puasanya tidak sah).” [H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha. Hadits Shahih]. 

Syarat niat sebelum fajar pada hadis ini khusus untuk puasa wajib. Adapun puasa sunah boleh berniat setelah fajar. 

Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan, “Pada suatu hari pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuiku, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ‘Apakah engkau memiliki sesuatu (yang bisa dimakan)?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Beliau bersabda (artinya), ‘Kalau demikian aku akan berpuasa.’” Makan Sahur Hukum makan sahur adalah sunnah. 

Hal ini berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً “

Sahurlah kalian, karena sungguh dalam sahur terdapat berkah.” (Muttafaqun ‘alaih) 

Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i seperti Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.” (Syarh Shahih Muslim, 7/207) 

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendorong kita agar tidak meninggalkan makan sahur walaupun sahur hanya dengan seteguk air. 

Sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ 

“Makan sahur adalah berkah maka janganlah kalian meninggalkannya meskipun salah seorang di antara kalian hanya minum seteguk air.” (HR. Ahmad, Hadits Hasan) 

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah: “Sahur dapat diperoleh seseorang yang makan dan minum meskipun hanya sedikit.” (Fathul Bari, 4/166).


Selanjutnya...2. Makan Sahur.
Share:

Hari/Tanggal

ALIH BAHASA

Daftar Isi